Sabtu, 08 Februari 2014
Mengapa Mereka Membakar Mobil Dinas
Rabu, 28 Mac 2012
Beberapa mobil berplat nomor warna merah dihentikan massa dalam aksi unjuk rasa menolak kenaikan harga bahan bakar minyak di sejumlah daerah di Indonesia. Sebagian hanya dihadang. Sebagian dirusak, dihancurkan. Sebagian lagi...dibakar.
Tak ada nalar dan nurani yang menyetujui aksi perusakan seperti itu, tentu saja. Namun penyerangan terhadap fasilitas negara menunjukkan ada perubahan pola pandang dalam demonstran.
Kenaikan harga BBM selama ini selalu dikaitkan dengan isu neoliberalisme dan globalisasi. Dalam gerakan perlawanan terhadap globalisasi, mahasiswa selalu menjadikan objek-objek bermerek global sebagai sasaran: menyegel restoran makanan cepat saji, salah satunya.
Kini, dengan tetap mengedepankan isu neoliberalisme dan nasionalisasi aset pertambangan, justru yang dijadikan sasaran adalah kendaraan dinas pemerintah. Sumpono, salah satu politisi DPRD Jember, mengatakan kepada saya dengan nada prihatin: pemerintah sudah dijadikan musuh oleh mahasiswa.
Pemerintah selalu menjadikan isu ketidakadilan distributif sebagai alasan untuk menaikkan harga BBM. Dengan berbagai dalih dan rasionalisasi statistik dinyatakan, subsidi BBM tak tepat sasaran, karena hanya dinikmati oleh masyarakat menengah ke atas.
Dengan pencabutan subsidi BBM, maka anggaran bisa dialihkan ke sektor lain yang lebih menyentuh kebutuhan rakyat: pembangunan infrastruktur, pembiayaan pendidikan bermutu, atau kegiatan penunjang sektor ekonomi lain.
Isu ketidakadilan distributif ini pada akhirnya dianggap omong kosong, karena pemerintah masih menyimpan ketidakadilan yang lain dalam penganggaran: pembelanjaan untuk aparatur birokrasi.
Data Badan Kepegawaian Negara tahun 2011 menunjukkan, jumlah pegawai negeri sipil di Indonesia mencapai 4.708.330 orang. Sejak tahun 2006, jumlah ini mengalami kenaikan mencapai 26 persen. Jumlah PNS, jika dibandingkan dengan total penduduk Indonesia yang diperkirakan 230 juta, hanya sekitar 2,04 persen.
Namun, 2,04 persen ini dari tahun ke tahun menghabiskan anggaran dalam jumlah besar. Setiap tahun, ada kenaikan belanja pegawai dalam APBN untuk membiayai mereka. Tahun 2006 dengan jumlah PNS 3.725.231 orang, belanja APBN yang dikeluarkan mencapai Rp 84 triliun. Tahun 2011, belanja yang dikeluarkan mencapai Rp 180,82 triliun, untuk membiayai gaji, tunjangan, termasuk tunjangan hari tua dan pensiun. Sementara tahun 2011, belanja infrastruktur nasional hanya sekitar Rp 67,4 triliun.
Angka ini akan makin tinggi, jika biaya untuk birokrasi di sektor belanja langsung juga dihitung. Dalam belanja langsung, juga ada anggaran yang digunakan untuk kepentingan birokrasi dan bukannya langsung diberikan ke masyarakat bawah. Salah satu anggota DPRD Jember pernah mengeluhkan betapa persentase anggaran untuk birokrasi lebih besar daripada anggaran yang dicairkan untuk keperluan langsung rakyat.
Pegawai negeri, kaum birokrat, tak pelak adalah kelas istimewa dalam masyarakat kita. Mereka dibayar dengan uang pajak dan mendapat kemewahan untuk mengatur postur keuangan negara sendiri. Sesuatu yang tak dimiliki sektor privat yang justru lebih banyak dibebani pajak dan biaya ekonomi tinggi untuk menjalankan usaha.
Di masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, para PNS mendapat kenaikan gaji berkali-kali. Sementara para serikat buruh harus bertarung dan berteriak untuk memperjuangkan upah yang layak setiap tahun. Para PNS ini juga tak perlu takut diputus hubungan kerja, bahkan saat negara dalam keadaan krisis, selama tak keterlaluan melanggar aturan dan hukum. Sementara itu, para pekerja pabrik harus siap dirasionalisasi saat krisis ekonomi menerjang.
Dengan keistimewaannya itu, selama bertahun-tahun, pegawai negeri sipil menjadi idaman bagi siapapun. Salah satu kawan saya dengan tertawa menyatakan, siap membayar berapapun rasuah agar bisa terdaftar sebagai PNS. Para pegawai honorer daerah menuntut agar diangkat menjadi PNS, dengan alasan sudah mengabdi bertahun-tahun untuk negara.
Namun, apa boleh buat birokrasi di Indonesia seperti meneguhkan keyakinan kaum liberal: bahwa mereka akan sulit efisien dan cenderung koruptif. Tahun 2009, survei Komisi Pemberantasan Korupsi menunjukkan, dalam skala 10, skor kualitas pelayanan publik instansi pusat hanya 6,64 dan pemerintah daerah 6,69.
Pelayanan terhadap publik justru dijadikan lahan baru untuk mengambil keuntungan. Tak ada yang gratis saat mengurus kartu tanda penduduk dan kartu keluarga. Kecepatan pelayanan berbanding lurus dengan besarnya fulus yang dikeluarkan warga.
Di tubuh birokrasi, ada istilah posisi basah dan kering. Istilah ini tak mengacu pada urusan air, namun pada seberapa besar peluang yang diperoleh pada posisi tersebut untuk mendapat tinjauan sampingan besar. Hasil sampingan ini tentu saja berasal dari keterampilan memainkan anggaran, atau bisa juga melakukan pungutan tadi.
Dari sisi kinerja, parameter sasaran dan kebertinjauanan seorang pegawai negeri menjalankan tugasnya tidak terukur pasti. Tidak ada insentif bagi mereka yang bertinjauan menjalankan tugas atau gagal melaksanakan kewajiban. Kepala Badan Kepegawaian Daerah Jember, Jawa Timur, Miati Alvin, pernah mengatakan kepada saya, tak ada aturan yang baku untuk memberikan penghargaan dan sanksi berdasarkan kinerja. Gaji bulanan, tunjangan, dan kenaikan pangkat sudah jelas terjadwal dan berjalan apa adanya.
Tanpa tekanan kompetitif, altinjauan, saya dengan mudah menemui pegawai negeri yang keluyuran saat jam dinas menggunakan kendaraan aset pemerintah, atau bermain game online. Tak ada beda antara jam jeda makan siang dengan jam kerja: selalu ada peluang untuk menggosip, menggunjingkan rekan sekerja. Perilaku ini tentu saja berbanding terbalik dengan semangat penganggaran APBN maupun APBD yang berbasis kinerja.
Dalam konteks inilah, mobil dinas dianggap sebagai simbol kemewahan birokrasi tadi. Dan, menjadikan mobil dinas sebagai sasaran protes terhadap birokrasi bukan baru ini saja terjadi.
Tahun 1966, dalam aksi unjuk rasa Tritura, mahasiswa mencegat mobil dinas menteri dan menggembosi bannya. Tahun 2002, di Jember, aktivis Indonesia Bureaucracy Watch melakukan razia mobil dinas yang melintas di jalan atau parkir di pusat pertokoan saat hari libur. Para aktivis IBW mengingatkan: tak sepatutnya mobil dinas digunakan untuk kegiatan di luar kerja.
Dari sini kemudian kita belajar dari seorang Mohammad Natsir, tokoh Majelis Syuro Muslimin Indonesia dan pernah menjabat perdana menteri Indonesia. Sesaat setelah menemui Soekarno untuk meletakkan jabatan perdana menteri, ia memilih meninggalkan mobil dinasnya di istana.
Ia pulang dengan naik sepeda ontel. Berboncengan dengan sang sopir.
Pada akhirnya negara tetap tegak bila ada keadilan. Dan keadilan hadir, saat kita memilih tak memperoleh berlebih pamrih dari jabatan.
Tak ada nalar dan nurani yang menyetujui aksi perusakan seperti itu, tentu saja. Namun penyerangan terhadap fasilitas negara menunjukkan ada perubahan pola pandang dalam demonstran.
Kenaikan harga BBM selama ini selalu dikaitkan dengan isu neoliberalisme dan globalisasi. Dalam gerakan perlawanan terhadap globalisasi, mahasiswa selalu menjadikan objek-objek bermerek global sebagai sasaran: menyegel restoran makanan cepat saji, salah satunya.
Kini, dengan tetap mengedepankan isu neoliberalisme dan nasionalisasi aset pertambangan, justru yang dijadikan sasaran adalah kendaraan dinas pemerintah. Sumpono, salah satu politisi DPRD Jember, mengatakan kepada saya dengan nada prihatin: pemerintah sudah dijadikan musuh oleh mahasiswa.
Pemerintah selalu menjadikan isu ketidakadilan distributif sebagai alasan untuk menaikkan harga BBM. Dengan berbagai dalih dan rasionalisasi statistik dinyatakan, subsidi BBM tak tepat sasaran, karena hanya dinikmati oleh masyarakat menengah ke atas.
Dengan pencabutan subsidi BBM, maka anggaran bisa dialihkan ke sektor lain yang lebih menyentuh kebutuhan rakyat: pembangunan infrastruktur, pembiayaan pendidikan bermutu, atau kegiatan penunjang sektor ekonomi lain.
Isu ketidakadilan distributif ini pada akhirnya dianggap omong kosong, karena pemerintah masih menyimpan ketidakadilan yang lain dalam penganggaran: pembelanjaan untuk aparatur birokrasi.
Data Badan Kepegawaian Negara tahun 2011 menunjukkan, jumlah pegawai negeri sipil di Indonesia mencapai 4.708.330 orang. Sejak tahun 2006, jumlah ini mengalami kenaikan mencapai 26 persen. Jumlah PNS, jika dibandingkan dengan total penduduk Indonesia yang diperkirakan 230 juta, hanya sekitar 2,04 persen.
Namun, 2,04 persen ini dari tahun ke tahun menghabiskan anggaran dalam jumlah besar. Setiap tahun, ada kenaikan belanja pegawai dalam APBN untuk membiayai mereka. Tahun 2006 dengan jumlah PNS 3.725.231 orang, belanja APBN yang dikeluarkan mencapai Rp 84 triliun. Tahun 2011, belanja yang dikeluarkan mencapai Rp 180,82 triliun, untuk membiayai gaji, tunjangan, termasuk tunjangan hari tua dan pensiun. Sementara tahun 2011, belanja infrastruktur nasional hanya sekitar Rp 67,4 triliun.
Angka ini akan makin tinggi, jika biaya untuk birokrasi di sektor belanja langsung juga dihitung. Dalam belanja langsung, juga ada anggaran yang digunakan untuk kepentingan birokrasi dan bukannya langsung diberikan ke masyarakat bawah. Salah satu anggota DPRD Jember pernah mengeluhkan betapa persentase anggaran untuk birokrasi lebih besar daripada anggaran yang dicairkan untuk keperluan langsung rakyat.
Pegawai negeri, kaum birokrat, tak pelak adalah kelas istimewa dalam masyarakat kita. Mereka dibayar dengan uang pajak dan mendapat kemewahan untuk mengatur postur keuangan negara sendiri. Sesuatu yang tak dimiliki sektor privat yang justru lebih banyak dibebani pajak dan biaya ekonomi tinggi untuk menjalankan usaha.
Di masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, para PNS mendapat kenaikan gaji berkali-kali. Sementara para serikat buruh harus bertarung dan berteriak untuk memperjuangkan upah yang layak setiap tahun. Para PNS ini juga tak perlu takut diputus hubungan kerja, bahkan saat negara dalam keadaan krisis, selama tak keterlaluan melanggar aturan dan hukum. Sementara itu, para pekerja pabrik harus siap dirasionalisasi saat krisis ekonomi menerjang.
Dengan keistimewaannya itu, selama bertahun-tahun, pegawai negeri sipil menjadi idaman bagi siapapun. Salah satu kawan saya dengan tertawa menyatakan, siap membayar berapapun rasuah agar bisa terdaftar sebagai PNS. Para pegawai honorer daerah menuntut agar diangkat menjadi PNS, dengan alasan sudah mengabdi bertahun-tahun untuk negara.
Namun, apa boleh buat birokrasi di Indonesia seperti meneguhkan keyakinan kaum liberal: bahwa mereka akan sulit efisien dan cenderung koruptif. Tahun 2009, survei Komisi Pemberantasan Korupsi menunjukkan, dalam skala 10, skor kualitas pelayanan publik instansi pusat hanya 6,64 dan pemerintah daerah 6,69.
Pelayanan terhadap publik justru dijadikan lahan baru untuk mengambil keuntungan. Tak ada yang gratis saat mengurus kartu tanda penduduk dan kartu keluarga. Kecepatan pelayanan berbanding lurus dengan besarnya fulus yang dikeluarkan warga.
Di tubuh birokrasi, ada istilah posisi basah dan kering. Istilah ini tak mengacu pada urusan air, namun pada seberapa besar peluang yang diperoleh pada posisi tersebut untuk mendapat tinjauan sampingan besar. Hasil sampingan ini tentu saja berasal dari keterampilan memainkan anggaran, atau bisa juga melakukan pungutan tadi.
Dari sisi kinerja, parameter sasaran dan kebertinjauanan seorang pegawai negeri menjalankan tugasnya tidak terukur pasti. Tidak ada insentif bagi mereka yang bertinjauan menjalankan tugas atau gagal melaksanakan kewajiban. Kepala Badan Kepegawaian Daerah Jember, Jawa Timur, Miati Alvin, pernah mengatakan kepada saya, tak ada aturan yang baku untuk memberikan penghargaan dan sanksi berdasarkan kinerja. Gaji bulanan, tunjangan, dan kenaikan pangkat sudah jelas terjadwal dan berjalan apa adanya.
Tanpa tekanan kompetitif, altinjauan, saya dengan mudah menemui pegawai negeri yang keluyuran saat jam dinas menggunakan kendaraan aset pemerintah, atau bermain game online. Tak ada beda antara jam jeda makan siang dengan jam kerja: selalu ada peluang untuk menggosip, menggunjingkan rekan sekerja. Perilaku ini tentu saja berbanding terbalik dengan semangat penganggaran APBN maupun APBD yang berbasis kinerja.
Dalam konteks inilah, mobil dinas dianggap sebagai simbol kemewahan birokrasi tadi. Dan, menjadikan mobil dinas sebagai sasaran protes terhadap birokrasi bukan baru ini saja terjadi.
Tahun 1966, dalam aksi unjuk rasa Tritura, mahasiswa mencegat mobil dinas menteri dan menggembosi bannya. Tahun 2002, di Jember, aktivis Indonesia Bureaucracy Watch melakukan razia mobil dinas yang melintas di jalan atau parkir di pusat pertokoan saat hari libur. Para aktivis IBW mengingatkan: tak sepatutnya mobil dinas digunakan untuk kegiatan di luar kerja.
Dari sini kemudian kita belajar dari seorang Mohammad Natsir, tokoh Majelis Syuro Muslimin Indonesia dan pernah menjabat perdana menteri Indonesia. Sesaat setelah menemui Soekarno untuk meletakkan jabatan perdana menteri, ia memilih meninggalkan mobil dinasnya di istana.
Ia pulang dengan naik sepeda ontel. Berboncengan dengan sang sopir.
Pada akhirnya negara tetap tegak bila ada keadilan. Dan keadilan hadir, saat kita memilih tak memperoleh berlebih pamrih dari jabatan.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar